karya Hasna Hafizhah Salma
Hidup itu penuh rintangan. Bukan sekali dua kali, namun berkali-kali. Hidup itu punya banyak rasa, bukan hanya bahagia namun bisa juga sedih atau apapun. Hidup itu penuh dengan pilihan. Salah memilih, berakibat fatal bagi hidup itu sendiri. Dan hidup itu hanya sekali, jangan disia-siain sama pilihan yang salah.
Zahra berjalan tanpa tujuan. Dia hanya mengikuti kemana kakinya kan berjalan. Zahra bukan gadis yang tegas, hidupnya dipenuhi dengan kebimbangan. Dia tidak bisa mengambil keputusan dengan baik. Di saat Zahra menemukan persimpangan, ia tidak mampu memilih, ia tidak tahu harus memilih yang mana. Zahra hanya ingin kebahagiaan, ia tidak ingin salah pilih dan akhirnya sedih berkepanjangan. Zahra mampu beribu-ribu kali untuk tertawa, namun Zahra takut untuk terjatuh. Terlalu takut, sampai ia tak menemukan apapun dalam hidupnya. Datar.
Sampai suatu hari, Zahra merasa jatah bahagianya telah diambil oleh Tuhan. Ayahnya di PHK, ibunya sakit keras. Zahra yang tidak biasa dengan ketidakcukupan hanya mampu mengeluh dan mengeluh. Dadanya seakan sesak setiap ia tidak dapat menemukan sepeser uang di dompetnya. Bagi Zahra kebahagiaan hanyalah materi. Ayahnya frustasi, mabuk-mabukan dan tidak mengurus ibunya. Sakit yang diderita ibunya semakin parah. Zahra menahan tangis. Pilu untuk mengatakan bahwa ini nyata, bukan mimpi. Zahra ingin berteriak, namun suaranya sudah tidak mampu meneriakan apa yang ingin dikatakannya saat melihat ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan membawa perempuan lain di rumahnya. Zahra hanya menahan nangis dan emosi. Ibunya yang semakin hari semakin memburuk, membuat Zahra harus banting tulang untuk mengobati ibunya. Semakin hari semakin buruk pula tingkah laku ayahnya. Setiap melihat hal-hal baru yang dikerjakan ayahnya selalu membuat dada Zahra sesak, seakan ingin mati saat itu juga.
Ibu Zahra sudah tidak tertolong. Ibu meninggalkannya sebatang kara. Zahra merasa bahwa Tuhan tidak adil, ia ingin tersenyum namun tidak mampu. Ia ingin menangis, namun tertahan. Sahabatnya hanya datang padanya saat ia kaya. Zahra merasa ingin memutar waktu, seperti dulu.
Ayahnya tidak ada perubahan sedikitpun, dia masih saja tetap mabuk-mabukan. Pada hari pemakaman ibu, ayahnya tidak terlihat batang hidungnya. Tidak ada yang menguatkan Zahra saat itu. Dia merasa, Tuhan sedang mengujinya.
Di hari yang berbeda, Zahra mencoba mengikhlaskan semuanya. Kini ia tinggal bersama paman dan bibinya. Zahra hendak berjalan-jalan mencari ketenangan. Saat ia sedang duduk dan menunggu bis datang di halte, seorang pengemis mendatanginya. Saat itu Zahra hanya mempunyai sepeser uang lima ribu. Pengemis itu terlihat tampak lelah, Zahra tidak tega melihatnya. Zahra memberikan uang satu-satunya miliknya kepada pengemis itu. Pengemis itu tersenyum sembari mengucapkan terimakasih dan mendoakannya. Uangnya sudah habis. Zahra tidak jadi naik bis, dia berjalan kaki menuju rumah pamannya. Lelah yang biasa ia rasakan kini tidak terasa sama sekali. Hanya perasaan bahagia bercampur lega dari dalam hatinya. Di sudut persimpangan dekat rumah pamannya, Zahra melihat seorang gembel mendatangi seorang pengemis dan meminta sepeser uang. Zahra tau pengemis itu hanya memiliki makanan yang hendak dimakannya itu, pengemis tadi tidak jadi memakannya, ia memberikannya pada gembel yang mendatanginya. Zahra merasa hatinya teduh.
Sampai di rumah pamannya, ia melihat ayahnya sedang menunggu di ruang tamu. Ayahnya tersenyum padanya, rambutnya beserta pakaiannya sangat rapih. Zahra hendak memasuki rumah pamannya, ayahnya memeluk dengan erat. Zahra ragu untuk membalasnya.
“ayah sudah mendapat pekerjaan lagi. Maafkan ayah yang menyia-nyiakan sisa hidup ibumu dan kamu Zahra. Ayah berjanji akan membahagiaakanmu sampai ayah kembali pada-Nya.” Zahra tidak mampu berkata apapun. hening seketika. Hanya terdengar isakan pelan Zahra. Ayahnya melepaskan pelukannya. Zahra mengangguk dan tersenyum.
Kini semuanya terasa membahagiakan. Zahra selalu mencoba ikhlas dan bersyukur atas apa yang telah ia miliki. Ia selalu merasa bahagia dari dasar hatinya. Tidak terpaksa, tidak karena materi. Kebahagiaannya berawal dari sebuah kebaikan dan ketulusan. Tuhan selalu adil dengan cara-Nya sendiri. J
“kebahagiaan bukan apa yang kamu miliki. Kebahagiaan berasal dari hati nuranimu yang bersedia menerima apapun atas dirimu.” – anonim.
No comments:
Post a Comment