karya Hasna Hafizhah Salma
“Kasihan gadis itu, harus melalui hidupnya penuh dengan kepura-puraan.”
Anna sedang tertawa bersama teman-temannya. Tawanya tidaklah tulus, terlihat dari guratan wajahnya tawanya penuh dengan paksaan. Anna selalu memasang wajah gembira, namun sikapnya yang kaku dan matanya yang redup membuat siapapun yang mengenalinya dengan baik akan berkata bahwa dia sedang berpura-pura. Anna tidak suka dikasihani. Itu yang membuat dia terlihat kuat.
Saat Anna berusia lima tahun, ayahnya meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Anna yang tak mengerti, menangis setiap hari selama setahun. Sinar matanya yang selalu menggambarkan kebahagiaannya sudah tidak terpancar lagi. Sinar itu sirna entah kemana. Kebahagiaannya seakan hilang seiring kepergian ayahnya. Anna mengalami perubahaan drastis, ibunya hanya mampu menangis melihat perubahan Anna. Anna menganggap dirinya adalah gadis kecil sebatangkara, tidak memiliki apapun kecuali apa yang ada pada dirinya.
Setahun berlalu, Anna perlahan kembali berubah. Sudah tidak menyendiri lagi. Tangisannya berganti tawa, sinar itu kembali menyala. Anna semakin mampu untuk menerima kenyataan bahwa ayahnya bahagia di sisi-Nya. Anna menyayangi ibunya lebih dari apapun. Kondisi ekonomi yang minim membuatnya bekerja keras membantu ibunya. Anna melakukan itu semua dengan ikhlas, tanpa paksaan.
Sinar mata Anna sudah sepenuhnya kembali. Tawanya lepas dan ringan. Siapapun yang melihatnya akan berkata Anna adalah gadis yang tidak memiliki beban sama sekali. Apapun itu. Anna telah mengunci rapat-rapat kenangan masa lalunya dengan ayahnya. Sedikit demi sedikit kondisi ekonomi keluarganya terangkat. Anna mampu tersenyum lepas, tanpa beban.
Sepertinya Tuhan sayang pada Anna, Anna diuji kembali oleh-Nya. Ibunya jatuh sakit. Anna banting tulang menggantikan ibunya untuk mencari nafkah. Kondisi ekonominya kembali menurun, bahkan sudah di bawah batas miskin. Anna berhenti sekolah. Uang yang didapatnya sebagian untuk membeli obat ibunya, dan sebagiannya lagi untuk membeli makan untuk dirinya dan ibunya. Namun sinar itu masih ada, menyala. Seakan mengatakan bahwa Anna baik-baik saja. Tidak terjadi apapun pada dirinya dan keluarganya. Walaupun tiap malam, rindu itu menyerang. Anna menangis dalam sujudnya setiap kali ia rindu pada ayahnya. Berharap Tuhan menyampaikan salamnya untuk ayahnya tercinta.
Saat Anna beranjak lima belas tahun, Tuhan benar-benar mengujinya. Ibunya kembali pada-Nya, menghadap-Nya dengan tenang dan senyuman. Anna tidak menangis, tidak juga tertawa, dan Anna tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Datar. Sinar matanya redup, tawanya tidak serenyah dulu, semuanya hancur seketika. Dia merasa bahwa Tuhan tidak sayang padanya. Tuhan tidak adil. Tuhan tidak mampu membuatnya tersenyum bahagia.
“Kau baik-baik saja Ann?” seseorang menepuk Anna lembut. Anna terlonjak. Menghindar.
“jangan sentuh aku.” Anna berteriak. Seseorang itu terenyuh. Namun kasih sayangnya tidak sirna. Seseorang itu percaya bahwa kelembutan akan melunakannya. Anna tidak mendekat juga tidak menjauh dari posisi dimana ia berdiri. Ibunya kini sudah sepenuhnya terkubur. Pelayat sudah pada pulang. Kecuali seseorang yang bertanya dengan lembut pada Anna. Dia masih berdiri di dekat Anna, menunggu sampai pertahanan Anna rapuh. Seseorang yang sangat dekat dengan Anna. Bila, sahabatnya.
“TUHAAAAAAAN! MENGAPA INI HARUS TERJADI?! KAU MENGAMBIL SEMUA ORANG YANG KUSAYANG!!! APA SALAHKU PADAMU TUHAN?! SHOLAT DAN IBADAH SELALU KULAKUKAN DENGAN BAIK!!! TUHAN KEMBALIKAN MEREKA!!!” pertahanan Anna rapuh seketika. Tangisnya meledak. Sinar matanya kian redup. Bila merengkuhnya erat.
“apa salahku bil? Apa salahku pada Allah, Bil? Kenapa Dia ngelakuin ini Bil? Aku sayang mereka, tapi mereka jahat sama aku. Mereka janji bakal nemenin aku sampai aku dewasa. Tapi mereka ngingkarin janji. Aku punya siapa sekarang??? Bila, apa Allah marah???” Tangis Anna makin pecah. Pernyataan dan pertanyaan menunjukan penyesalan dan penuntutan. Bila tidak dapat menjawab pertanyaannya. Dan mungkin Anna tidak membutuhkan jawabannya. YaAllah, kuatkanlah sahabatku…ampunilah dia dalam ucapannya yang kemungkinan sedang khilaf.. doa Bila dalam hati. Tangis Anna semakin menjadi. Sinar matanya kini telah menghilang, sembab di matanya menunjukan bahwa dia sudah tak mampu menerima beban ini sendirian, dia tak ingin sendirian.
“aku malu Bil, aku malu. Aku belum sempat meminta maaf pada ibuku. Aku belum sempat membuat ibuku bahagia. Aku hanya nyusahin mereka. Aku hanya dapat berbohong pada mereka. Aku jahat sama mereka. Tapi mereka lebih jahat lagi sama aku, mereka ninggalin aku di saat aku butuh mereka. Di saat aku merasa manusia yang paling beruntung memiliki orangtua sebaik mereka. Tapi mereka pergi gitu aja. Aku hina bil. Aku hina!!!!!” Anna mulai tidak bisa mengontrol dirinya. Semakin lama pernyataannya terdengar memaki dirinya sendiri. yaAllah, aku tak mampu melihatnya seperti ini, aku benar-benar tak mampu… batin Bila.
“Hidup bukanlah tentang satu hal. Semua akan kembali pada-Nya, dan kita harus mengikhlaskannya. Percayalah, selalu ada pelangi disela-sela hujan.” – Aku.
No comments:
Post a Comment