Wednesday, August 3, 2011

Kemantapan Hati

by: Hasna Hafizhah Salma


    Menunggu…menunggu…menunggu.
Entah sampai kapan aku bertahan di sini., menunggu yang tak pasti. Menunggu tanpa jawaban. Entah sudah berapa banyak semilir angin yang menemaniku di sini. Aku memang tidak sendiri saat ini, tapi hatiku saat ini merasa sangat sepi dan merasa hanya aku sendiri yang ada di sini. Aku menatap kosong ke depan, sudah ribuan lalu lalang manusia yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Aku tahu, sampai kapanpun aku menunggu di sini, takkan menemukan jawaban apapun. Iyap, apapun. Jilbabku berkali-kali menunjukan berontaknya perlahan, entah karena angin atau memang sudah bosan.  Aku ingin pergi saat ini juga dan menumpahkan semua tangisku. Tapi, aku tak mengerti mengapa keyakinan menahanku di sini. Aku menghiraukan tatapan tanda tanya dari setiap langkah kaki yang telah melewati titik penglihatanku.
      Waktu bergerak sangat cepat. Sudah lebih dari 8 jam aku berdiam tanpa pikiran yang pasti. Gundah. Dan ku pastikan keyakinanku untuk bertahan goyah sudah. aku memutuskan pergi, pergi meninggalkan kenangan yang begitu indah bahkan terlalu sangat indah bagiku untuk kukenang.
“Kak….” Sapa seorang anak saat aku hendak beranjak pergi. Aku menoleh seolah mengatakan ‘iya? Ada apa?’ namun mulutku terkunci rapat. Hanya pikirku yang berbicara. Dan sepertinya anak itu mengerti.
“ma-af kak. Aku perhatiin dari tadi kakak ber-diam me-natap ko-song. Kak-ak di sini nam-un ha-ti ka-kak tid-ak sed-ang di sini. Ma-af aku ikut cam-pur.” Anak itu menjelaskan dengan terbata. Aku mengangkat alis, bingung. Aku langsung tersadar saat anak itu hendak bergerak menuju tempat aku berdiri, bahwa anak itu cacat. Kaki kanannya bukan kaki asli melainkan hanya sebuah kayu yang di tempel di lututnya. Aku memerhatikan caranya berjalan tanpa sedikitpun mengeluarkan ‘aduh’ ‘aw’ atau keluhan yang lainnya.
“ini waktu rumahku digusur kak, aku membela ibuku yang menangis karena takut kehilangan rumah. Tanpa sadar kakiku kena tembakan hansip yang menggusur rumah kami. Dan kakiku membengkak akhirnya harus di amputasi.” Anak itu menjelaskan seperti bisa membaca pikiranku. Aku tersadar, sudah seringkali aku menyakiti ibuku, membuatnya menangis HANYA KARENA HARAPAN YANG TAK PASTI. Harapan untuk memiliki layaknya seorang remaja yang sedang jatuh cinta. Tapi cintaku tidak berbalas. Aku memang mengenakan jilbab, tapi tingkahku masih seperti perempuan yang belum memakai bahkan belum tahu jilbab itu apa. Aku tidak hanya memikirkan-Nya namun seringkali dalam waktu luang anganku untuk memilikinya selalu muncul tiba-tiba dan aku pun sering sekali menyakiti ibuku dengan berbohong. Astagfirullah, tapi anak ini? Berbeda jauh denganku. Pikiranku melayang entah kemana. Gerakan tangan kasar yang menyadarkanku pada dunia nyata.
“kamu tidak apa-apa dek? Mengapa kamu rela kakimu di amputasi? Kan bisa di obati secara perlahan?” akhirnya aku membuka mulut. Dan balas tersenyum saat anak itu tersenyum.
“hanya kaki kak. Emang bisa di obati, tapi harganya jauh lebih mahal. Ibuku yang sudah ditinggal ayah tidak mampu membayar biaya pengobatanku. Biarkanlah kak, kakiku tidak ada apa-apanya dibandingkan jasa ibuku yang mempertaruhkan nyawanya saat melahirkanku.” Jawab anak itu tulus tanpa ada rekayasa sedikitpun. Ya Allah, ingin aku menangis saat ini juga. Betapa jauhnya kebahagiaanku karena aku telah jauh dari rasa syukur. Astagfirullah. Batinku.
“kak? Mau cerita?” tanyanya polos memecahkan pikiran yang lebih tepatnya penyesalan. Entah apa yang kupikirkan saat itu yang rasanya ingin sekali berbagi dengan anak ini, ingin mengeluarkan unek-unek dan angan yang terlampau jauh. Yang membuatku sakit.
“kakak di sini nunggu siapa? Pacar kakak ya? Kakak maaf nih ya, bukannya dalam islam tidak diperkenankan untuk pacaran? Adanya ta’aruf bukan? Lagi pula kak maaf ya, kakak kan berjilbab apa pantas dilihat orang nanti?” ribuan pertanyaan polos dari anak itu seraya menyekekku dan menyadarkanku betapa terlampau jauhnya setan menggodaku. Menggoda imanku melalui laki-laki yang memberiku harapan kosong. Yap HANYA HARAPAN KOSONG.
“bukan pacar dek.” Ucapku lirih dan hanya menatap kosong ke jalan raya. Halte saat ini sudah mulai sepi dan yang terdengar hanya langkah kaki dan desir angin yang menggoyangkan dedaunan pohon sekitar.
“terus?” tanyanya antusias. Aku menoleh,
“aku berharap sama dia. Dia bilang suka juga sama aku. Tapi aslinya ya dianya hanya membalas harapanku sampai aku terbang dan mimpi terlalu jauh. Tapi itulah karena terlampau tinggi pas jatuh rasanya sakit banget. Tadinya kakak yakin kalo dia bakal datang terus nemuin kakak di sini. Tempat pertama kakak kenal dia, tapi kakak salah. Harusnya kakak nyadar diri, kalo kakak itu nggak ada apa-apanya disbanding cewek-cewek lain yang ngedeketin dia. Dan harusnya kakak bisa menahan emosi hati. Aku juga berfikir dek, kenapa aku memakai jilbab tapi hatiku tidak berjilbab?” ceritaku lirih. aku menahan bibirku saat mengucapkan kalimat terakhirku. Air mataku mendorong ingin keluar dan benar-benar keluar. Tiada suara apapun yang terdengar kecuali desir angin dan isakanku. Aku sibuk dengan hati dan pikiranku, dan anak itu sepertinya sibuk dengan pikrannya dan sibuk memperhatikanku. Hening.
“kak…ada ribuan bintang di langit. Kalo kakak mau milih, kakak milih yang terlihat sangat dekat apa sangat jauh? Yang terlihat amat terang apa mulai redup?” tanyanya memecahkan keheningan.
“ini teka-teki atau apa dek?” aku balik bertanya, anak itu hanya tersenyum tipis.
“kalau kakak jadi bintang, kakak mau bintang yang seperti matahari? Atau bintang-bintang malam?” anak itu lanjut bertanya. Aku bergumam.
“kak….kalau kakak memilih bintang yang sangat dekat, memang berarti kakak sangat takut dengan mimpi-mimpi kakak yang amat tinggi. Tapi kalau kakak memilih bintang yang sangat jauh, kakak butuh kesabaran dan kekuatan hati yang ekstra untuk meraihnya. Tidak setiap manusia memiliki itu kak, kekuatan untuk meraih bintang yang sangat tinggi. Kalau kakak ingin menjadi bintang yang terang sekali. Kakak juga butuh kesabaran dan kekuatan yang lebih ekstra lagi. Seperti matahari, dia slalu menyapa ramah pagi hari dengan ‘sabar’nya dan menghangatkan bumi dengan ‘kekuatan’nya.” Jelas anak itu panjang lebar sembari menerawang. Aku mulai mengerti.
“aku ingin menjadi bintang-bintang malam.” Selaku sebelum anak itu melanjutkan penjelasannya. Anak itu kaget dan menoleh ke arahku, aku tersenyum dan dia balas tersenyum.
“kenapa?” tanyanya.
“karena aku ingin menemani setiap manusia dalam tidur lelapnya. Dan aku ingin menerangi malam dengan hangatnya kekuatanku dan indahnya kesabaranku.” Jawabku. Anak itu tersenyum. dan mengangguk.
“kakak sangat bijak…dan untuk tingkah laku kakak yang belum sesuai dengan jilbab kakak. Aku saranin kakak jangan pernah berfikir untuk membuka jilbab kakak.” Katanya seperti mendengar suara hatiku. Aku bergeming.
“lebih baik kakak perlahan dekatkan diri lagi pada Allah ya kak. Dan perlahan juga untuk istiqomah di jalannya. Kak….mungkin lain kali kita bisa bertemu lagi. Aku harus mencari nafkah untuk ibuku, aku pamit ya kak. Assalamu’alaikum.” Ujarnya sembari berlari mengejar metromini yang hampir meninggalkannya.
“SIAPA NAMAMUU?” teriakku.
“HENDRIIIII!” anak itu balas teriak. Dan segera menaiki metromini tempat ia harus mengamen. Aku tersenyum.
     Waktu telah berputar. Hatiku mulai tenang. Dari kejauhan aku melihat sesosok badan tinggi yang ku kenal. Seseorang yang sudah ku tunggu sejak 9 jam yang lalu. Perasaan marah dan kecewa sudah tidak berbuih lagi.
“jadi apa jawabanmu?” tanyanya tanpa basa-basi dan berkata maaf karena telah membuatku menunggu yang tidak pasti. tapi pertemuanku dengan anak yang pantang menyerah membuat yang tidak pasti menjadi pasti. aku bergemin, dia mengangkat alis.
“kita temenan, sudah lebih dari cukup.” Jawabku yakin.
“HAAAAAAAH?????” dia melongo, bingung. Aku tertawa dan meninggalkannya dengan kebingungan.
“terimakasih atas waktunya yang percuma selama ini.” Ujarku sembari tertawa dan berlalu. Dan meninggalkan dia seorang diri yang masih binung.

No comments:

Post a Comment