Hamparan luas di hadapanku sudah tak dapat kulihat lagi. Aku hanya bisa merasakannya. Tak dapat kutangisi lagi, ini sudah bulan kesepuluh aku kehilangan berbagai cara untuk melihat. Tanpa melihat aku masih sanggup mendengar. Namun, samar-samar pendengaranku mulai tidak berfungsi. Aku tak bisa mendengar apapun. Hanya hembusan angin yang dapat kurasakan. Kehadiran orang-orang yang kusayangi dapat kurasakan atas hembusan nafas penuh kasih. Ya Tuhan, sanggupkah aku melewati sisa hidupku dengan tanpa penglihatan dan pendengaran? Bagaimana caraku untuk memberitahu maksud hati?
Aku merasakannya, ya hembusan itu selalu kunanti. Dia mendekatiku, apakah itu benar-benar dirinya? Bagaimana dia saat ini? Masihkah sama seperti sepuluh bulan lalu? Sunggu, aku rindu untuk menatapnya. Tangan lembutnya menyentuh pipiku, aku mencoba mencari wajahnya. Perlahan, kupeluk tubuhnya erat. Tubuh penuh kasih yang dapat menghilangkan dendam terukir dalam degupan jantung yang sedang bekerja keras membantunya bernafas. Dia menuliskan sesuatu di tanganku dengan jari lembutnya. M-A-K-A-N. Ya hanya cara ini yang bisa menghubungkanku dengan dunia luar. Sentuhan lembut jari-jari di tanganku. Satu-satunya komunikasi yang dapat kumengerti. Dengan segera aku mengikutinya dari belakang. Tangan itu menggandengku penuh hati-hati, menuntunku penuh dengan rasa sabar. Tanpa ada keluhan sedikitpun. Dia kembali membantuku, tangan itu bekerja penuh dengan perhatian. Membantuku duduk penuh dengan perasaan seakan aku bayi yang baru saja dilahirkan. Piring berisi nasi atau entahlah aku tidak mengetahuinya secara pasti –yang penting aku bisa makan. Dia berikan kepadaku. Aku tersenyum. nafas itu mendekat seakan merasakan kebingunganku, jari lembut itu kembali menyentuh di tanganku. U-D-A-N-G. Oh ya, makananku hari ini udang. Dan akupun tidak tahu udang itu digoreng, direbus atau ditumis. Entahlah, sekali lagi yang penting aku makan.
Usai aku melahap habis makananku, dia kembali membantuku untuk bangun dan berjalan meninggalkan ruang makan. Sungguh, aku benar-benar merindu padanya. Pancaran wajahnya yang teduh, selalu nyaman untuk dipandang. Dia selalu mengerti tentangku, lebih mengerti dari diriku sendiri. Jari lembutnya kembali mengukir kata-kata ditanganku T-I-D-U-R. Ya, dia membawaku ke kamar. Membaringkanku penuh dengan rasa kasih yang mendalam. Mengecup keningku dan membiarkanku terlelap dengan pikiranku. Tak lama aku tertidur pulas.
***
Dia membelakangiku. Aku segera berlari mengejarnya. Tunggu, aku bisa melihatnya? Ya Tuhan, penglihatanku kembali. Terimakasih, terimakasih sekali. Aku berlari penuh dengan guratan rindu yang mendalam. Tak berapa lama semakin aku mendekatinya, aku mendengar gemericik air di dekatnya. Sungguh? Pendengaranku telah kau kembalikan pula padaku. Ya Tuhan, beribu nikmat telah Kau berikan untukku. Jadikanlah kami hambamu yang bersyukur. Batinku. Aku menggapainya, aku memeluknya amat erat dari belakang. Dia membalikan tubuhnya, dia tersenyum padaku. Sungguh wajah yang amat sangat kurindu, cantiknya terpancar penuh kesabaran. Aku mengecup keningnya lama. Memeluknya erat, seakan mengatakan aku tidak ingin kehilangannya. Dia balas memelukku, mengeluarkan senyum terbaiknya. Memberikan kasih dari tiap pelukan yang diberikannya. Aku tersenyum manja. Sungguh aku amat merindukan pelukan dalam tiap wajahnya.
“Bunda, aku sayang bunda.” Ucapku pelan, mengalun bersama hembusan angin. Hampir tidak terdengar. Tunggu. Aku bisa berbicara? Ya Tuhan apakah ini mimpi? Jika iya, jangan biarkan aku terlarut di dalamnya. Harapku cemas dalam hati. Seharian penuh aku bercanda dengannya, bertukar cerita, pendapat atau apapun semuanya kami bicarakan. Dia tersenyum. menitikan air mata kebahagiaan setitik demi setitik.
“Bunda lebih menyayangimu dari yang telah kamu ketahui.” Aku memeluknya erat, amat erat. Enggan untuk melepaskannya.
***
Aku tersenyum. sekali lagi aku mencoba meraihnya, meraih semuanya. Nihil, tidak terlihat apapun, tidak terdengar apapun. aku hanya bermimpi. Mimpi indah yang tak pernah ingin kutinggalkan. Perlahan aku mencoba bangun dari posisi tidurku. Menggapai sisi-sisi tempat tidur dengan perlahan dan berjalan perlahan berpegangan pada apapun yang ada di dekatku. Aku sudah tidak mengenali benda-benda yang berada di kamarku saat ini. Tak lama aku berjalan, aku merasakan sakit yang amat sangat menyiksa. Aku tidak bisa bangun dari dudukku yang tiba-tiba. Yang aku tahu, aku terjatuh. Tapi aku tidak tahu dimana aku terjatuh saat ini. Terasa entakan lembut mendekat. Aku mencoba meraihnya. Aku tetap tidak menemukannya. Aku tidak mampu kembali berdiri. Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa dengan kakiku? Aku panik. Tapi tak ada satupun yang bisa kulakukan. Tiba-tiba semuanya hilang. Aku tidak dapat mengingat apapun. Seperti tertidur dalam gelap.
Saat aku kembali merasakannya, tangan lembut itu tengah menyentuh lembut keningku. Aku merasakan ada sesuatu yang dingin sedang menyentuh bagian tubuhku. Sekiranya aku mengenal itu. Tangan lembut itu menyentuh telapak tanganku dan langsung menjulurkan jemarinya dengan indah. D-O-K-T-E-R. Ya, dokter sedang memeriksaku. Benda itu apa namanya? Aku ingin mengetahuinya. Lagi-lagi sepertinya dia merasakan kebingunganku dan dia mengerti. Diulurkannya kembali jemari itu dengan indah. S-T-E-T-O-S-K-O-P. Sekarang aku mengerti.
Sepertinya dokter itu sudah tidak ada di sisiku. Aku mencoba bangun perlahan, namun kakiku sepertinya tidak dapat kugerakan sama sekali. Aku menyentuhnya, menepuk-nepuk dan menuliskan jemariku di telapak tangannya. K-A-K-I K-U K-E-N-A-P-A. Dia menepukku pelan. Amat pelan seperti ungkapan “sabar ya, aku tau kamu pasti bisa melaluinya.” K-A-M-U L-U-M-P-U-H. Tak berhenti tangan lembut itu mengusap bagian tubuhku, apa aku lumpuh? Rasanya aku ingin menangis saat itu juga. Tapi aku tidak bisa mengeluarkan air mata. Air mata itu ada di sini, di hati ini. Sungguh cobaan yang Kau berikan amatlah berat Tuhan. Tapi tidak mengapa. Aku masih mempunyai-Mu. Dan aku masih punya dia. Bersedia menemaniku kapanpun dimanapun. Sungguh, anugrah yang patut aku syukuri. Dia –Bunda– menyelimutiku. Aku merasakannya. Bulu-bulu halus menghangatkan tubuhku. Membawaku ke alam mimpi secara perlahan.
***
“Bunda, tunggu. Aku bisa mengejarmu bukan?” tanyaku riang. Dia mengangguk. Tangan lembutnya membelai kepalaku penuh sayang. Aku menyeringai. Aku dapat tertawa bebas. Menari, berjalan dan berlari semauku. Tapi Tuhan, bukankah baru saja aku dikabarkan lumpuh? Apakah aku telah sembuh? Ataukah aku terjebak dalam permainanMu? Bukankah Engkau Maha Adil lagi Maha Bijaksana? Ya Tuhan, jangan biarkan aku mengaharap tanpa ada balasan. Sejenak aku melupakan pikiran-pikiranku. Aku terus berlarian, bermain dan tentu saja penuh dengan tawa. Ya, ini semua anugrah-Nya. Aku tidak boleh angkuh dan merasa terlalu senang karenanya. Batinku.
“Sarah, pulang sayang. Udah malam, besok lagi ya mainnya.” Bunda memanggilku penuh dengan kelembutan. Aku menghampirinya penuh dengan seringai. Dia tersenyum dan membelai kepalaku penuh sayang.
***
Aku tersadar. Lagi-lagi hanya mimpi. Kini semuanya gelap. Tak ada lagi tawa, kini semuanya senyap. Dan tak dapat lagi aku berlari menggapai kebahagiaan. Kini semuanya semu. Mimpi. Mimpi indah yang terlalu memesona. Membuat diri lupa akan artinya harapan. Tangan lembut itu kembali menyentuh pipiku lembut, seakan mengatakan “Bunda selalu di sini, kapanpun kamu butuh. Kamu tidak pernah sendirian.” Langsung kupeluk dia penuh erat. Kini rasa sayangku benar-benar meluap. Ya Tuhan, satu saja permintaanku. Aku ingin membahagiakannya, walau aku penuh dengan segala keterbatasan. Aku merindunya dalam dekapku. Dekap penuh cinta.
“Di setiap pedih yang aku rasakan. Di situlah aku menemukan arti kebahagiaan dengan penuh ketulusan.”
No comments:
Post a Comment